JAKARTA, 3 Oktober 2025 – Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan Indonesia (PERMATA Indonesia)
menyoroti ketidakpastian hukum dalam regulasi pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
yang dinilai dapat menghambat investasi dan mengancam keberlanjutan industri pertambangan nasional.
Dalam kajian strategis mereka yang dirilis pada Juni lalu (23/6/2025) dengan judul “Kekacauan Regulasi,
Lahirkan Ambiguitas dan Dilematis Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil”, mereka menekankan agar
pemerintah harus segera memperjelas payung hukum kegiatan pertambangan di pulau kecil.
“Regulasi yang ambigu, layaknya “jebakan batman” bagi para pelaku usaha. Bagaimana mungkin
pemerintah memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada perusahaan, tetapi di sisi lain, operasinya
terancam dihentikan secara mendadak karena alasan regulasi yang ambigu? Ini bisa menciptakan
ketidakpastian investasi yang sangat merugikan,” ungkap Sekretaris Jenderal PERMATA Indonesia, Ahmad Sagito.
Menurut Kajian Strategis PERMATA INDONESIA, perbedaan pandangan terhadap penafsiran UU No. 1
Tahun 2014 (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil/UU PWP3K) menimbulkan polemik
dan ambiguitas makna. Konsekuensi dari ambiguitas makna tersebut terjadi dalam penggunaan sejumlah
pasal di dalamnya sebagai dasar untuk menghentikan operasi tambang yang sudah berjalan.
Polemik dimulai ketika Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 35 huruf K yang ditafsirkan sebagai larangan tanpa syarat
terhadap kegiatan pertambangan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya No. 57 P/HUM/2022.
Sementara itu, Mahkamah Konsitusi (MK) melalui pertimbangan dan putusannya Nomor 35/PUU-
XXI/2023 menyatakan tidak demikian.
Ahli Hukum Tata Negara yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto,
SH., M.Hum. menilai kejelasan penafsiran hukum menjadi kunci dalam memberikan kepastian hukum. UU
PWP3K ini seharusnya dibaca sebagai aturan yang memperbolehkan kegiatan pertambangan di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dengan persyaratan yang berlaku.
Dirinya menjelaskan, dalam memaknai Pasal 23 ayat 2 UU PWP3K, maka perlu memaknai operator norma
pada pasal tersebut, yakni kata “diprioritaskan” secara metode harfiah. Arti kata “prioritas” menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “didahulukan dan diutamakan dibanding yang lain”. Maka,
pasal ini tidak bisa dimaknai sebagai larangan mutlak karena boleh ada pemanfaatan selain pemanfaatan
prioritas.
“Kepentingan pemanfaatan lain tidak dilarang. Namun, apabila dalam keadaan yang sama-sama
diperlukan dan ada keterbatasan sumber daya lingkungan, maka kepentingan prioritaslah yang
diutamakan,”
“Lalu, jika hanya ada satu rencana pemanfaatan, tetapi tidak masuk kepentingan prioritas, maka
pemanfaatan itu tidak dilarang untuk dijalankan,”
“Dan apabila sumber dayanya cukup, lalu ada pemanfaatan yang masuk prioritas dan ada yang tidak
masuk prioritas, maka pemanfaatan dapat dilaksanakan bersama-sama,” jabarnya.Berlanjut pada pemaknaan Pasal 35 huruf k UU PWP3K, Dr. Aan menerangkan adanya dua operator
norma, yaitu kata “dilarang” dan “apabila”. Dengan metode penafsiran harfiah berdasar KBBI, maka kata
“larang/terlarang” dapat diartikan sebagai “tidak diperbolehkan/tidak diperkenankan” dan kata “apabila”
diartikan dengan “jika/atau”.
“Artinya (penambangan) boleh dilakukan dengan syarat. Larangan ini pun bersifat kondisional dan
setelah aktivitas berjalan, bukan secara mutlak. Pemaknaan ini sejalan dengan tafsiran pihak dari
pemerintah,” terang Dr. Aan.
Juru bicara Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Wilayah Sulawesi Tenggara (Perhapi Sultra),
Ahmad Faisal, juga turut menanggapi ramainya narasi yang menyebutkan bahwa MK telah melarang
mutlak aktivitas pertambangan di wilayah tersebut. Kesimpulan ini pun dinilai keliru dan dipicu oleh
disinformasi di media.
“Majelis hakim MK secara tegas menyatakan bahwa tidak ada larangan mutlak terhadap aktivitas di luar
prioritas tertentu, termasuk pertambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau kecil,” ujar Faisal dalam
pernyataan tertulisnya (22/1).
Lebih lanjut, Faisal mengutip putusan MK yang menegaskan bahwa UU PWP3K harus dipahami sebagai
aturan yang mengizinkan aktivitas pertambangan selama memenuhi persyaratan wajib.
Menurutnya, pulau-pulau kecil yang memiliki potensi sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati,
dapat dimanfaatkan sebagai penopang ekonomi nasional. Pemanfaatan ini, lanjutnya, juga harus
memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan kedaulatan bangsa.
Namun demikian, Faisal tetap mengingatkan bahwa pulau-pulau kecil memiliki kerentanan tinggi
terhadap pengaruh eksternal dan kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, regulasi yang ada dirancang
untuk menjamin pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara proporsional dan berkelanjutan.
Melihat fenomena tersebut, Sekretaris Jenderal PERMATA INDONESIA, Ahmad Sagito, menegaskan
bahwa dalam era modern dengan kemajuan teknologi saat ini, dikotomi antara pembangunan ekonomi
dan keberlanjutan ekologis sudah tidak relevan lagi.
“Kata kunci utama adalah sinergi. Pembangunan harus berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan.
Karenanya, perspektif yang mengadu domba kedua aspek tersebut hanya akan menghambat tercapainya
solusi holistik, mengingat ekonomi kerap diprioritaskan secara sepihak,” pungkasnya.
Lebih lanjut, dirinya menyatakan bahwa PERMATA INDONESIA melalui kajiannya telah mengembangkan
suatu model regulasi berbasis kriteria selektif dalam perizinan pertambangan di wilayah pulau kecil,
dengan memprioritaskan aspek keberlanjutan dan ketahanan ekosistem. Rumusan model regulasinya di
antaranya:
1. 2. 3. 4. Izin hanya bisa diberikan kepada perusahaan yang sehat secara lingkungan dan manajemen.
Wajib memiliki website yang dapat diakses publik sebagai bentuk transparansi.
Audit lingkungan dan sosial tahunan oleh tim independen.
Memiliki kajian lingkungan hidup yang komprehensif.5. Adanya kajian sosial dan ekonomi yang komprehensif untuk menjamin keberlanjutan dan
keadilan bagi masyarakat lokal.
6. Pembatasan wilayah pertambangan di pulau kecil (khususnya, perlindungan ekosistem dan masyarakat berbasis prinsip keberlanjutan.